Connect with us

BERITA

Rasminto: Penguatan Lembaga Adat Betawi Kunci Menjaga Jati Diri Jakarta di Era Global

Published

on

Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI), Rasminto dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Jakarta Pasca Tidak Menjadi Ibukota” yang diselenggarakan oleh DPP Persatuan Masyarakat Jakarta (Permata) di Hotel Mega Anggrek, Jakarta Barat, Sabtu (25/10). (Foto; Ist)
Example 300x300

Jakarta | MantikNews.com – Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI), Rasminto, menegaskan bahwa penguatan Lembaga Masyarakat Adat Betawi merupakan langkah strategis untuk menjaga jati diri dan eksistensi budaya Betawi di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi Jakarta pasca tidak lagi menjadi ibu kota negara.

Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI), Rasminto, menegaskan bahwa penguatan Lembaga Masyarakat Adat Betawi merupakan langkah strategis untuk menjaga jati diri dan eksistensi budaya Betawi di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi Jakarta pasca tidak lagi menjadi ibu kota negara.

Hal itu disampaikan Rasminto dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Jakarta Pasca Tidak Menjadi Ibukota” yang diselenggarakan oleh DPP Persatuan Masyarakat Jakarta (Permata) di Hotel Mega Anggrek, Jakarta Barat, Sabtu (25/10).

“Jakarta kini tengah bertransformasi menjadi kota global. Namun dalam proses itu, jangan sampai akar budayanya tercerabut. Lembaga masyarakat adat Betawi harus diperkuat secara hukum agar berfungsi nyata, bukan hanya simbol tradisi,” ujar Rasminto dalam paparannya.

Pakar geografi manusia itu menjelaskan bahwa penguatan lembaga adat Betawi tidak hanya menyangkut pelestarian budaya, melainkan juga soal pengakuan hukum dan posisi kelembagaan dalam sistem pemerintahan daerah. Menurutnya, keberadaan lembaga adat yang diatur dalam peraturan daerah (Perda) akan menjadi pilar penting dalam menjaga, mengembangkan, dan menghidupkan kembali nilai-nilai luhur masyarakat Betawi.

“Apabila lembaga adat ini diakomodasi secara resmi dalam aturan hukum daerah, maka ia akan menjadi pilar strategis yang menopang tata kelola sosial dan kebudayaan Jakarta,” tegasnya.

Rasminto menyoroti Perda DKI Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi, yang dinilai belum memberikan pengakuan formal terhadap lembaga adat Betawi. Menurutnya, revisi perda tersebut menjadi agenda mendesak, karena lembaga adat dapat berperan sebagai mitra strategis Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bidang pelestarian budaya, pemberdayaan masyarakat adat, hingga diplomasi budaya internasional.

Lebih lanjut, Rasminto menekankan pentingnya sinkronisasi antara Perda Betawi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, agar kebijakan daerah tidak berjalan sendiri-sendiri.

“Revisi perda harus menegaskan ekosistem budaya yang mencakup pelaku, lembaga, dan pranata adat. Selain itu, perlu memastikan adanya dukungan pendanaan berkelanjutan baik melalui APBD maupun kemitraan dengan sektor swasta melalui program CSR,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa dukungan pendanaan tersebut merupakan faktor krusial agar lembaga adat dapat bergerak independen, berdaya, dan berperan aktif dalam memperkuat identitas masyarakat Betawi di tengah kehidupan metropolitan.

Sebagai perbandingan, Rasminto mencontohkan beberapa daerah yang telah sukses membangun model kelembagaan adat yang kuat, seperti Majelis Desa Adat (MDA) Bali dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Amungme-Kamoro (LPMAK) di Papua.

“Dari Bali kita belajar tentang sinergi antara adat dan pemerintah daerah yang berjalan harmonis, sementara dari Papua kita melihat bagaimana kemitraan CSR dapat menjadi kekuatan ekonomi bagi komunitas adat. Dua model ini dapat menjadi rujukan bagi Jakarta dalam membangun Lembaga Adat Betawi yang kuat, mandiri, dan relevan dengan zaman,” ujarnya.

Rasminto juga menekankan pentingnya peran lembaga adat Betawi dalam pendidikan karakter dan pembinaan generasi muda, agar nilai-nilai kearifan lokal seperti sopan santun, gotong royong, dan keadaban sosial tetap hidup di tengah gaya hidup urban.

“Jika budaya Betawi kuat, maka Jakarta akan memiliki jati diri yang kokoh sebagai kota modern yang tetap berakar pada nilai-nilai lokal. Itu bukan hanya pelestarian budaya, tapi juga bentuk diplomasi budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa,” tutupnya.

Seiring dengan pemindahan pusat pemerintahan ke Ibu Kota Nusantara (IKN), Jakarta kini memasuki fase baru sebagai pusat ekonomi, budaya, dan diplomasi internasional. Namun, di tengah perubahan status tersebut, banyak pihak menilai bahwa identitas lokal Jakarta justru menjadi kunci agar kota ini tidak kehilangan ruhnya.

Penguatan Lembaga Adat Betawi, sebagaimana disampaikan Rasminto, menjadi momentum penting agar transformasi Jakarta menuju kota global tidak meninggalkan warisan budaya yang telah membentuk karakter warganya selama berabad-abad. (Dik/MTKNews)

Example 300x300
Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *