BERITA
Soeharto Dinilai Layak Jadi Pahlawan Nasional, Ini Alasan FSPI
Jakarta | MantikNews.com – Forum Silaturahmi Pemuda Islam (FSPI) menilai Presiden kedua Republik Indonesia, Jenderal Besar H.M. Soeharto, layak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional atas jasa dan kontribusinya dalam menjaga keutuhan serta stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Koordinator Presidium FSPI, Zuhelmi, mengatakan kepemimpinan Soeharto pasca peristiwa G30S/PKI menjadi titik balik penting dalam penyelamatan bangsa dari potensi disintegrasi nasional. Menurutnya, langkah-langkah yang diambil Soeharto saat itu berhasil memulihkan keamanan, menata ulang sistem pemerintahan, dan membuka jalan bagi arah pembangunan jangka panjang Indonesia.
“Soeharto berhasil membawa Indonesia keluar dari masa kekacauan menuju stabilitas nasional. Pembangunan ekonomi, pertanian, dan infrastruktur di bawah kepemimpinannya menjadi fondasi kuat bagi kemajuan bangsa,” ujar Zuhelmi dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (7/11/2025).
Zuhelmi menilai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto memiliki urgensi historis sekaligus moral. Ia menegaskan, pengakuan tersebut tidak dimaksudkan untuk menghapus catatan kelam masa lalu, tetapi sebagai upaya menilai sejarah secara objektif dan proporsional.
“Kita harus menempatkan sejarah secara adil. Soeharto adalah tokoh yang berjasa besar membangun Indonesia modern. Penghargaan ini menjadi refleksi untuk menghargai jasa pemimpin yang memberi dampak besar bagi bangsa,” jelasnya.
Secara hukum, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010 sebagai aturan pelaksanaannya. Dalam regulasi tersebut disebutkan, gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada warga negara Indonesia yang semasa hidupnya berjasa luar biasa bagi bangsa dan negara serta tidak pernah melakukan tindakan yang mencederai keutuhan NKRI.
FSPI juga menyoroti sejumlah capaian strategis selama masa pemerintahan Soeharto yang berkontribusi besar terhadap pembangunan nasional. Di antaranya, program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang menurunkan angka kemiskinan dari sekitar 40 persen pada awal 1970-an menjadi 11 persen pada akhir 1990-an, Instruksi Presiden Desa Tertinggal (IDT) yang memperkuat ekonomi perdesaan, hingga program swasembada pangan yang mengantarkan Indonesia memperoleh pengakuan dari FAO pada 1984.
“Program Repelita dan IDT memperkuat pemerataan pembangunan. Penguatan Puskesmas dan pendidikan dasar meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Itu semua bagian dari legacy Soeharto yang masih dirasakan manfaatnya hingga kini,” imbuh Zuhelmi.
FSPI juga menilai ketegasan Soeharto dalam menumpas gerakan PKI merupakan langkah strategis menjaga kedaulatan negara dari ancaman ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Meski diakui terdapat kontroversi dalam pelaksanaannya, Zuhelmi menegaskan langkah itu harus dipahami dalam konteks penyelamatan bangsa pada masa krisis ideologis dan politik.
Pandangan serupa sebelumnya disampaikan oleh sejarawan Universitas Indonesia, Prof. Asvi Warman Adam, yang menilai bahwa penilaian terhadap Soeharto harus dilakukan secara proporsional. Menurutnya, Soeharto merupakan tokoh dengan dua sisi sejarah: keberhasilan pembangunan nasional di satu sisi, dan catatan pelanggaran hak asasi manusia di sisi lain.
FSPI menilai keseimbangan pandangan tersebut penting agar generasi muda dapat mengambil pelajaran berharga dari sejarah, bukan sekadar menilai masa lalu dengan kacamata politik masa kini.
Sebagai penutup, Zuhelmi berharap usulan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dapat menjadi momentum refleksi dan keteladanan bagi masyarakat Indonesia.
“Yang perlu diteladani adalah disiplin, kerja keras, dan komitmen beliau terhadap bangsa. Semoga gelar ini menjadi pengingat bahwa membangun negara membutuhkan keteguhan, visi panjang, dan semangat pengabdian,” pungkasnya.