BERITA
Dosen Udayana Ingatkan Media Jangan Jadi Kompor Perpecahan TNI-Polri


Jakarta | MantikNews.com – Dosen Ilmu Politik Universitas Udayana sekaligus Founder Malleum Iustitiae Institute, Efatha Filomeno Borromeu Duarte, mengingatkan agar media arus utama tidak memainkan peran sebagai “kompor” yang justru merusak kohesi nasional pasca-insiden Slipi, Jakarta, pada 28 Agustus 2025.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Menurut Efatha, insiden kesalahpahaman antara personel TNI dan Polri itu sejatinya hanyalah peristiwa minor (non-event) yang sudah selesai secara damai di lapangan. Namun, pemberitaan dan narasi provokatif di ruang digital membuat situasi terkesan membesar.
“Secara faktual, yang terjadi adalah jabat tangan damai atas kesalahpahaman. Tetapi dalam logika post truth, fakta objektif kalah oleh narasi emosional. Ketika media justru ikut menyebarkan fiksi konflik, maka mereka berperan sebagai kompor yang merusak soliditas TNI-Polri,” kata Efatha dalam keterangan tertulisnya.
Efatha menegaskan, fakta di lapangan justru menunjukkan soliditas dan kebersamaan TNI-Polri.
“Setelah insiden, anggota TNI ikut berjaga di kantor polisi yang sempat dirusak massa untuk memastikan situasi kondusif. Ribuan demonstran yang bergerak ke Mako Brimob Polda Metro Jaya di Kwitang juga dihadapi secara tertib oleh aparat gabungan TNI-Polri. Selain itu, patroli bersama antara kedua institusi juga digelar untuk menegaskan kesatuan komando dan kebersamaan dalam menjaga keamanan ibu kota”, tandasnya.
Meski demikian, Efatha mengingatkan perlunya kontrol rantai komando yang jelas agar tidak menimbulkan bias dan persepsi adanya “matahari kembar” di lapangan.
“TNI-Polri harus tetap berjalan dalam garis komando yang solid dan jelas, agar tidak membuka ruang bagi pihak-pihak yang ingin memelintir fakta menjadi konflik,” ujarnya.
Ia menjelaskan, narasi yang menggiring TNI dan Polri seakan-akan berhadap-hadapan bisa menggerus legitimasi negara.
“Mereka bukan gladiator, mereka adalah instrumen negara yang harus dipercaya netral. Jika media membiarkan narasi konflik tumbuh, yang hancur bukan hanya citra institusi, tapi juga kapasitas negara dalam menjaga ketertiban,” ujarnya.
Efatha juga menyoroti adanya perang informasi asimetris, di mana aktor non-negara dapat menyebarkan disinformasi lebih cepat daripada klarifikasi resmi institusi negara.
“Kondisi ini, kata Efatha, membuat framing negatif telanjur tertanam sebelum fakta sampai ke publik”, katanya.
Lebih lanjut, Efatha menekankan bahwa respons negara terhadap ancaman disinformasi harus komprehensif.
“Maka untuk menggunakan instrumen hukum (KUHP, UU ITE) adalah bentuk koersi yuridis yang esensial pada level hulu. Penegakan hukum ini berfungsi sebagai deterrent effect untuk menekan suplai disinformasi yang destruktif. Hanya saja, respons represif ini tidak akan memadai tanpa strategi di level hilir. Di sinilah letak urgensi untuk melakukan sekuritisasi literasi digital. Literasi digital tidak boleh lagi dipandang sebagai program rutin tanpa makna, melainkan agenda keamanan nasional yang setara dengan pertahanan negara,” jelasnya.
Efatha mengingatkan bahwa ancaman terbesar bagi Indonesia di abad ke-21 bukan semata agresi konvensional, melainkan implosi internal akibat perang persepsi.
“Tanpa ketegasan hukum dan kewaspadaan digital kolektif, damai di dunia nyata akan selalu kalah oleh riuh permusuhan di dunia maya,” pungkasnya.
