Opini
“Efek Purbaya”: Sorotan Media Siber atas Arah Baru Fiskal RI


Oleh Didik Triono – Pengamat Media Siber
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!MantikNews.com – Pergantian pucuk pimpinan di Kementerian Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa menjadi salah satu peristiwa politik-ekonomi terbesar tahun 2025. Bukan hanya karena Sri Mulyani dikenal luas sebagai figur teknokrat berpengaruh, tetapi juga lantaran kehadiran Purbaya langsung memunculkan istilah baru di ruang publik: “Efek Purbaya”.
Pelantikan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia pada Senis Sore, 8 September 2025 langsung mengguncang ruang publik. Dari kalangan akademisi, praktisi keuangan, hingga media siber, istilah “Efek Purbaya” pun mencuat, menggambarkan arah baru kebijakan fiskal yang tengah ia gulirkan.
Purbaya Yudhi Sadewa (lahir 7 Juli 1964) adalah seorang ekonom dan insinyur Indonesia, Sebelumnya, ia menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan dari 2020–2025.
Ia meraih gelar Sarjana dari Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung (ITB). Sementara gelar Master of Science (MSc) dan gelar Doktor di bidang Ilmu Ekonomi diperoleh dari Universitas Purdue, Indiana, Amerika Serikat.
Media siber, analis keuangan, hingga netizen sama-sama menyoroti gaya komunikasi, kebijakan perdana, serta kontroversi yang mengiringi langkah awal menteri baru tersebut. Pertanyaannya, apakah “Efek Purbaya” akan menjadi katalis positif bagi pertumbuhan ekonomi atau justru menambah ketidakpastian?
Istilah Baru di Panggung Ekonomi
Istilah “Efek Purbaya” pertama kali muncul di pemberitaan media keuangan sehari setelah ia dilantik pada 8 September 2025. Pasar saham yang melemah 1,78% di hari pertamanya dianggap sebagai reaksi spontan investor terhadap kebijakan awal dan gaya komunikasi sang menteri. Sementara itu, rupiah relatif stabil, menandakan pasar masih menunggu konsistensi kebijakan lebih lanjut.
Media siber cepat menangkap dinamika ini. Beberapa portal menekankan bahwa “Efek Purbaya” bukan sekadar soal angka, melainkan juga persepsi publik terhadap gaya kepemimpinan yang berbeda drastis dari pendahulunya.
Sorotan Publik dan Kontroversi Awal
Langkah awal Purbaya diwarnai kontroversi. Pernyataannya mengenai “17+8 Tuntutan Rakyat” yang ia sebut sebagai suara “sebagian kecil rakyat” menuai kritik tajam. Publik menilai komentarnya meremehkan aspirasi masyarakat.
Media sosial kemudian memperbesar gaungnya. Potongan video dan kutipan pernyataan Purbaya menjadi bahan perdebatan, bahkan satire. Ia kemudian mengklarifikasi dengan menyebut dirinya sebagai “menteri kagetan” dengan gaya bicara “koboi”, sembari menyampaikan permintaan maaf.
Belum reda isu tersebut, sorotan publik bertambah dengan unggahan putranya, Yudo Achilles, yang dianggap menyindir Sri Mulyani. Meski akun Instagram Yudo segera menghilang, tangkapan layar sudah telanjur beredar luas dan menjadi bahan pemberitaan.
Dari sisi komunikasi politik, dua insiden itu memperlihatkan bahwa setiap gestur dan pernyataan pejabat publik di era digital bisa berdampak jauh melampaui ruang rapat kabinet.
Arah Baru Kebijakan Fiskal
Terlepas dari kontroversi, media siber juga menyoroti arah kebijakan fiskal yang mulai ditempuh Purbaya. Salah satu keputusan perdana yang disebut sebagai katalis utama “Efek Purbaya” adalah relokasi Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank milik negara.
Tujuannya jelas: memperbesar likuiditas perbankan agar kredit bisa lebih deras mengalir ke sektor riil. Pendekatan ini jauh lebih agresif dibandingkan strategi konservatif Sri Mulyani, yang dikenal sangat hati-hati menjaga defisit dan inflasi.
Ekonom terbelah menanggapi kebijakan tersebut. Sebagian menilai langkah itu bisa menjadi stimulus positif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 6–7 persen. Namun pihak lain mengingatkan bahwa persoalan mendasar justru ada di lemahnya permintaan kredit. Risiko inflasi, moral hazard, hingga potensi penyalahgunaan likuiditas juga disorot sebagai ancaman jangka menengah.
Respon Pasar dan Narasi Media
Bagi pelaku pasar, setiap kebijakan baru adalah sinyal. Penurunan IHSG pada hari pertama dianggap cerminan kehati-hatian investor. Namun stabilnya rupiah menunjukkan bahwa pasar internasional masih menaruh kepercayaan pada fundamental ekonomi Indonesia.
Media siber mengemas dinamika ini dengan berbagai narasi. Ada yang menyebut “Efek Purbaya” sebagai peluang untuk mengakhiri era “tight budget” dan membuka jalan bagi pertumbuhan. Namun ada pula yang menempatkannya sebagai tanda bahaya: gaya komunikasi yang spontan, dikombinasikan dengan kebijakan fiskal agresif, bisa menciptakan volatilitas baru.
Media, Politik, dan Kepercayaan Publik
Dalam konteks yang lebih luas, sorotan media terhadap Purbaya memperlihatkan betapa pentingnya komunikasi publik di era digital. Gaya blak-blakan yang mungkin dimaksudkan untuk transparansi justru bisa dimaknai negatif bila tidak diimbangi kehati-hatian.
Sebagai menteri baru di kabinet Presiden Prabowo Subianto, Purbaya tidak hanya membawa beban teknokratis, tetapi juga ekspektasi politik. Media siber menyoroti bahwa perubahan gaya kepemimpinan ini bisa menjadi penanda pergeseran arah kebijakan ekonomi nasional, dari stabilitas ke ekspansi.
Antara Harapan dan Kekhawatiran
“Efek Purbaya” masih berada pada tahap awal. Dalam beberapa bulan ke depan, konsistensi kebijakan, efektivitas implementasi, serta kemampuan menjaga komunikasi publik akan menjadi faktor penentu apakah istilah ini bermakna positif atau justru menjadi beban politik dan ekonomi.
Yang jelas, media siber telah menjadikan Purbaya sebagai salah satu figur paling disorot pasca-reshuffle kabinet 2025. Gaya bicara lugasnya, kebijakan fiskal agresif, hingga kontroversi keluarga menjadi bahan pemberitaan yang nyaris tiada henti.
Apakah “Efek Purbaya” akan tercatat sebagai momentum lahirnya arah baru kebijakan fiskal Indonesia? Ataukah sekadar fenomena sesaat yang penuh gejolak? Jawabannya akan sangat ditentukan oleh bagaimana sang menteri menavigasi kombinasi antara ekspektasi publik, kepentingan politik, dan stabilitas pasar.
Langkah perdananya merelokasi dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank milik negara mencerminkan pendekatan fiskal ekspansif yang agresif. Tujuannya jelas: menambah likuiditas agar kredit mengalir deras ke sektor riil dan pertumbuhan ekonomi bisa terdongkrak. Namun, kebijakan ini sekaligus menimbulkan pertanyaan besar: akankah Purbaya mampu menjaga keseimbangan antara stimulus dan stabilitas fiskal?
Harapan Pertumbuhan
Dalam skenario optimistis, kebijakan Purbaya bisa menjadi katalis pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dukungan likuiditas yang kuat memungkinkan UMKM dan sektor industri bangkit lebih cepat. Jika pertumbuhan mampu menembus 6–7 persen sebagaimana harapannya, penerimaan negara akan meningkat, defisit bisa terkendali, dan kesejahteraan masyarakat pun terdorong.
Pasar keuangan juga berpotensi merespons positif jika kebijakan dijalankan secara konsisten dan komunikatif. Dengan demikian, “Efek Purbaya” bisa tercatat sebagai momentum baru bagi reformasi fiskal Indonesia.
Risiko dan Tantangan
Namun, jalan ini tidak tanpa risiko. Likuiditas berlebih berpotensi menimbulkan inflasi, apalagi jika permintaan kredit tak diimbangi oleh daya serap sektor riil. Pasar keuangan, yang sensitif terhadap sinyal kebijakan, bisa saja kehilangan kepercayaan jika pernyataan maupun kebijakan dianggap terburu-buru.
Defisit anggaran juga bisa melebar bila belanja negara melampaui kemampuan penerimaan. Di titik inilah istilah “Efek Purbaya” bisa berbalik arah, dari katalis pertumbuhan menjadi simbol ketidakpastian fiskal.
Jalan Tengah
Sejatinya, arah fiskal di bawah Purbaya kemungkinan besar akan berada di antara dua kutub: ada pertumbuhan yang terbantu stimulus, namun risiko makroekonomi tetap membayangi. Tantangan utamanya adalah menjaga disiplin fiskal, memperkuat koordinasi dengan Bank Indonesia dan OJK, serta membangun komunikasi publik yang lebih hati-hati.
Sebagai menteri baru, Purbaya masih perlu waktu untuk membuktikan efektivitas strateginya. Publik dan pasar kini menunggu, apakah “Efek Purbaya” akan menjadi momentum kebangkitan ekonomi Indonesia, atau justru catatan kritis dalam sejarah kebijakan fiskal kita.
