Umat Islam Wajib Memilih Pemimpin, Jangan Golput

  • Diposting pada 14 Agustus 2023
  • Opini
  • Oleh Devi Arum Anastya

'Ini Kriteria Calon Pemimpin yang Wajib Dipilih Umat islam'

    Tulis disini ..

mantiknews.com, Jakarta - Sebagai pemilih mayoritas, umat Islam di Indonesia tentunya menjadi  umat yang paling berkonstribusi dalam menentukan siapa yang bakal  terpilih The Next Leader bangsa ini. Lantas dasar apa sehingga umat muslim di Indonesia  harus berkontribusi menentukan sang pemimpin negara ? 

Berdasarkan Siyasatul Islamiyah atau kajian politik Islam, umat Islam berkewajiban memilih atau mengangkat pemimpin.  Kewajiban memilih pemimpin tersebut bukan hanya dalam konteks berbangsa dan bernegara saja, namun dalam kontekks yan lebih kecilpun umat Islam diwajibkan untuk mentukan pemimpinnya. 

Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya,

“Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya” (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah).

Hadist itu menjelaskan , meskipun kelompok dalam jumlah kecilpun harus memilih pemimpin, apalagi dalam kelompok atau komunitas yang besar seperti bernegara.  Sehingga, kewajiban memilih pemimpin hanya untuk urusan yang dibenarkan oleh syariah.

Merujuk  kepada hadist di atas, Frasa fî safar[in] (bepergian) menunjukkan, bahwa ketiga orang tersebut mempunyai urusan yang sama (umur musytarakah), yaitu hendak bepergian. Adapun bepergian itu hukum asalnya adalah mubah (dibenarkan syariah).

Dari frasa itu bisa diambil kesimpulan, dalam urusan yang mubah, mengangkat pemimpin hukumnya wajib, apalagi dalam perkara yang wajib, pasti lebih wajib lagi. Inilah mafhum muwafaqah yang bisa kita tarik dari hadist di atas.

Dalam Surat An-Nisa ayat 59, Allah SWT menyuruh kita untuk taat kepada pemimpin (ulil amri),

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ

”Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta para pemimpin di antara kalian” (QS An-Nisa [4]: 59).

Ayat ini menjelaskan, menaati ulil amri hukumya adalah wajib. Ulil amri adalah orang yang mendapatkan mandat untuk memerintah rakyat. Namun, ayat ini tidak berlaku untuk ulil amri yang tidak menjalankan hukum-hukum Allah atau  yang menyuruh kepada kemaksiatan. Pemimpin yang bersifat seperti ini tidak wajib ditaati.

Akan tetapi, yang ingin kita jelaskan dari teks ayat tersebut adalah adanya kewajiban untuk menaati pemimpin. Kalau menaati pemimpin hukumnya wajib, maka memilih atau mengangkat pemimpin hukumnya pun wajib.

Hal ini sesuai dengan kaidah hukum fikih yang artinya: “Segala  sesuatu yang mana sebuah kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan melakukannya, maka sesuatu tersebut wajib dikerjakan“Contoh sederhana terhadap pemahaman kaidah fikih tersebut yaitu bahwa kewajiban salat tidak akan bisa terlaksana dengan sempurna kecuali dengan berwudu, maka berwudu hukumnya menjadi wajib.

Demikian pula, kita tidak akan bisa melaksanakan kewajiban untuk menaati pemimpin, kalau pemimpin itu tidak ada. Oleh karena itu, memilih atau mengangkat pemimpin juga menjadi suatu kewajiban.

Lantas bagaimana hukumnya umat islam yang memiliki hak suara namun tidak mau memmilih alias Golput? Jika dalam kajian diatas memilih dan mengangkat adalah sebuah kewajiban, tentunya diharapkan dan diharuskan agar kita sebagai muslim turut memilih pemimpin negara. 

Dan pemimpin seperti apa yang wajib kita pilih? Majelis  Ulama Indonersia sudah pernah mengeluarkan Fatwa dan menjadi pedoman terkait penggunaan hak pilih dalam pemilu tertuang dalam buku berjudul "Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975" yang diterbitkan Erlangga. Hal itu dijelaskan pada halaman 867 dengan bab keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Ketiga Tahun 2009.

Fatwa itu berisi lima point terkait penggunaan hak pilih dalam pemilu :

Pertama, pemilu dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

Kedua, memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.

Ketiga, imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.

Keempat, memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunya kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.

Kelima, memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

Dalam fatwa itu, MUI juga memberikan dua rekomendasi sebagai berikut:

Pertama, umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar.

Kedua, pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak masyarakat terpenuhi.

Fatwa MUI itu ditandatangani olehPimpinan MUI yakni  Pimpinan Komisi Fatwa MUI Ma'ruf Amin, Wakil Ketua MUI Masyhuri Na'im, dan Sekretaris Sholahudin Al Aiyub.

Dengan demikian umat islam tidak perlu bimbang dan bingung lagi dalam menyalurkan hak pilihnya kepada calon pemimpin. Namun sebagai muslim yang baik, kriteria pemimpin berdasarkan Fatwa MUI diataslah yang harus dijadikan rujukan.  (Berbagai Sumber)

Penulis
Tidak Ada Gambar
Devi Arum Anastya